Dewasa  ini berkembang tuntutan untuk perubahan kurikulum pendidikan yang  mengedepankan perlunya membangun karakter bangsa. Hal ini didasarkan  pada fakta dan persepsi masyarakat tentang menurunnya kualitas sikap dan  moral anak-anak atau generasi muda. Yang diperlukan sekarang adalah  kurikulum pendidikan yang berkarakter; dalam arti kurikulum itu sendiri  memiliki karakter, dan sekaligus diorientasikan bagi pembentukan  karakter peserta didik.
Melihat situasi “produk” pendidikan dari dekade sebelumnya, para orang tua, secara subyektif, sering membuat perbandingan antara situasi pendidikan masa kini dengan situasi di mana mereka dulu mengalami pendidikan di sekolah. Atas situasi, sikap, perilaku sosial anak-anak, remaja, generasi muda sekarang, sebagian orang tua menilai terjadinya kemerosotan atau degradasi sikap atau nilai-nilai budaya bangsa. Mereka menghendaki adanya sikap dan perilaku anak-anak yang lebih berkarakter, kejujuran, memiliki integritas yang merupakan cerminan budaya bangsa, dan bertindak sopan santun dan ramah tamah dalam pergaulan keseharian. Selain itu diharapkan pula generasi muda tetap memiliki sikap mental dan semangat juang yang menjunjung tinggi etika, moral, dan melaksanakan ajaran agama.
Melihat situasi “produk” pendidikan dari dekade sebelumnya, para orang tua, secara subyektif, sering membuat perbandingan antara situasi pendidikan masa kini dengan situasi di mana mereka dulu mengalami pendidikan di sekolah. Atas situasi, sikap, perilaku sosial anak-anak, remaja, generasi muda sekarang, sebagian orang tua menilai terjadinya kemerosotan atau degradasi sikap atau nilai-nilai budaya bangsa. Mereka menghendaki adanya sikap dan perilaku anak-anak yang lebih berkarakter, kejujuran, memiliki integritas yang merupakan cerminan budaya bangsa, dan bertindak sopan santun dan ramah tamah dalam pergaulan keseharian. Selain itu diharapkan pula generasi muda tetap memiliki sikap mental dan semangat juang yang menjunjung tinggi etika, moral, dan melaksanakan ajaran agama.
     Jika  ditarik garis lurus bahwa mereka yang kini menjadi orang dewasa adalah  produk pendidikan pada beberapa dekade sebelumnya, maka yang  dipertanyakan adalah kurikulum pendidikan di masa sebelumnya itu.
Apa  yang dilakukan oleh beberapa orang tua tersebut tidak sepenuhnya salah.  Ada baiknya dilakukan “review” menyeluruh terhadap suatu kurikulum  pendidikan. Kehendak untuk melakukan peninjauan kurikulum, sesungguhnya,  bukan hanya semata-mata atas desakan dan tuntutan para orang tua.  Perbaikan kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum itu  sendiri (inherent), bahwa suatu kurikulum yang berlaku harus secara  terus-menerus dilakukan peningkatan dengan mengadobsi kebutuhan yang  berkembang dalam masyarakat dan kebutuhan peserta didik. Kunci sukses  implementasi kurikulum terutama adalah pada pendidik, kelembagaan  sekolah, dukungan kebijakan strategis, dan lingkungan pendidikan itu  sendiri.
Definisi  kurikulum memang sangat beragam, baik dalam arti luas maupun dalam arti  sempit. Tetapi untuk tujuan penulisan ini, kiranya perlu dikutip  pernyataan Sukmadinata (2004:150) yang mengatakan, kurikulum merupakan  rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang  disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat,  nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan.
Selanjutnya  dijelaskan, dalam memahami konsep kurikulum, setidaknya ada tiga  pengertian yang harus dipahami, yaitu; (1) kurikulum sebagai substansi  atau sebagai suatu rencana belajar; (2) kurikulum sebagai suatu sistem,  yaitu sistem kurikulum yang merupakan bagian dari sistem persekolahan  dan sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat; (3) kurikulum sebagai  suatu bidang studi, yaitu bidang kajian kurikulum, yang merupakan bidang  kajian para ahli kurikulum, pendidikan dan pengajaran.
Mengacu  pada pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa kurikulum merupakan  rancangan pendidikan, yang berisi serangkaian proses kegiatan belajar  siswa. Dengan demikian secara implisit kurikulum memiliki tujuan yaitu  tujuan pendidikan. Selain itu juga jelas bahwa banyak faktor yang  terkait dengan pelaksanaan pendidikan, yaitu guru, siswa, orang tua, dan  lingkungan.
Manajemen  persekolahan juga menjadi variabel penting dalam mewujudkan tujuan  pendidikan. Bagaimana iklim sekolah diciptakan, turut berperan dalam  mewarnai anak didik. Apakah iklim kebebasan, disiplin, ketertiban, dan  kreativitas benar-benar tercipta di lingkungan sekolah.
 Pendidikan Karakter
Di  masa lalu, dogma atau doktrin negara dilakukan melalui  penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)  atau melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).  Pelaksanaan penataran P4 juga menjadi program wajib setiap siswa baru  pada jenjang sekolah menengah sampai perguruan tinggi.
Pada  semua mata pelajaran, secara implisit termuat tujuan pembelajaran yaitu  adanya perubahan kognitif, sikap, dan perilaku pebelajar. Kesemua  kegiatan pembelajaran, khususnya untuk mata pelajaran yang terkait  langsung dengan pembangunan mental dan moral pebelajar, itu dimaksudkan  sebagai usaha untuk membentuk sikap warga negara yang menjunjung tinggi  nilai-nilai budaya bangsa, mempererat persatuan dan kesatuan,  menciptakan kesadaran hidup bernegara, dan membangun moral bangsa.  Faktanya, setelah berlangsung bertahun-tahun, “produk” penataran P4 itu  tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penyakit sosial dan penyakit  masyarakat masih saja merebak. Sudah bukan lagi disebut sebagai  kenakalan remaja. Yang terlihat sekarang adalah perilaku tidak jujur,  korupsi, kolusi, nepotisme, suap, makelar kasus, bahkan tindakan  terorisme, hilangnya sikap kesabaran, pelanggaran norma masyarakat,  merosotnya disiplin berlalu-lintas di jalanan, memudarnya rasa malu,  meredupnya sikap saling menghargai, dan sebagainya.
Selain  itu, yang juga tampak menonjol adalah rendahnya penghargaan terhadap  karya sendiri dan atau karya bangsa sendiri. Hal ini diindikasikan  dengan tindakan pembajakan produk yang melanggar hak cipta, perilaku  mencontek dalam ujian, dan bahkan sikap mengagung-agungkan gelar, telah  melunturkan etos belajar, sehingga terjadi pemalsuan ijazah. Apalagi  ditambah dengan sikap konsumerisme dan gempuran iklan produk konsumtif  yang menyerbu setiap hari melalui berbagai media, kian menunjukkan  betapa kita telah kehilangan jati diri dan tidak mempunyai karakter.   
Dalam  tataran ini, belajar atau sekolah dianggap bukan sebagai kebutuhan,  tetapi hanya merupakan wahana memburu status. Sekolah dipandang bukan  sebagai wahana sosialisasi dan membangun jiwa merdeka, tetapi dipandang  sebagai jembatan menuju “kemewahan”. 
Dalam  hemat penulis, pendidikan berbeda dengan indoktrinasi. Pendidikan lebih  bermuatan nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan indoktrinasi berkaitan  dengan kepentingan politik. Pendidikan bukan untuk menciptakan  kemakmuran lahiriah, karena kemakmuran itu hanya merupakan dampak dari  pendidikan.
Kurikulum Pendidikan
Pertanyaannya,  adakah yang salah dalam kurikulum pendidikan di masa lalu? Apakah  kurikulum di masa lalu tidak memuat pendidikan karakter? Apakah  kurikulum itu sendiri telah memiliki karakter, sehingga mampu membentuk  karakter peserta didik? Sebagaimana diketahui, bahwa suatu kurikulum  diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi pada masanya. Kurikulum  yang berlaku pada masanya itu dapat dipandang telah memiliki kesesuaian  dengan situasi dan kondisi pada waktu itu dan memiliki tujuan-tujuan  ideal yang telah dipertimbangkan dengan matang.
Kurikulum  pendidikan yang berlaku dalam persekolahan di Indonesia telah mengalami  berbagai penyempurnaan, terakhir dengan apa yang disebut sebagai  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang merupakan implementasi  Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003  tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19  Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
Implikasi  lain dalam KTSP dan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999  jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan  Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah  dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom adalah desentralisasi  pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah.
Diskusi  yang berkembang kemudian adalah kesiapan daerah dalam melaksanakan  pengelolaan pendidikan dan mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan. Selain  itu juga terkait dengan batas-batas kewenangan pemerintah pusat dalam  memberikan dukungan pelaksanaan KTSP.  
KTSP  telah mengatur segala prinsip dan ketentuan-ketentuan pelaksanaanya.  Yang sekarang tampak nyata adalah kendala-kendala dalam implementasi, di  mana faktor kesiapan guru, ketersediaan sarana, kesiapan siswa, dan  dukungan dari orang tua atau masyarakat yang kurang memadai.
Artikel Terkait:
0 komentar:
Posting Komentar